Membangun Industri Fashion yang Manusiawi
24 April 2015 lalu kalangan industri fashion dunia menggelar Fashion Revolution Day yang kedua. Bertepatan dengan peringatan 2 tahun bencana runtuhnya Rana Plaza di Dhaka, Bangladesh yang menewaskan 1.133 buruh garmen, dan melukai lebih dari 2.500 orang.
Peristiwa itu merupakan bencana terburuk dalam sejarah industri fashion di Bangladesh, bahkan dunia. Sehingga mengundang kecaman dari masyarakat dunia, termasuk orang-orang di lingkaran industri fashion sendiri. Tragedi Rana Plaza telah memicu kesadaran bahwa isu penting di balik bencana tersebut bukan semata-mata soal buruknya konstruksi bangunan, tapi jauh menukik pada aspek-aspek kemanusiaan di industri fashion. (Sadikin Gani, Fashion Revolution Day, Gerakan Keadilan bagi Buruh Industri Fashion).
Carry Somers, pendiri Fashion Revolution Day menanggapi perkembangan itu sebagai energi baru dalam mengupayakan perubahan nyata di industri fashion. “ The Rana Plaza catastrophe was a metaphorical call to arms,†kata Somers seperti dikuti Bruno Pieters ( Interview with Carry Somers, Founder of Fashion Revolution Day, 13 April 2014).
Jauh sebelum tragedi Rana Plaza terjadi, persoalan ketidakadilan di industri fashion sebenarnya sudah menjadi sorotan utama para aktivis buruh—umumnya kalangan NGO (Non Governmental Organization). Namun, perhatian terhadap isu itu tidak pernah keluar dari lingkaran para aktivis gerakan buruh.
Tragedi Rana Plaza mengubah itu. Kesadaran untuk memperbaiki kondisi kehidupan kaum buruh—yang diwujudkan dalam Fashion Revolution Day—justru lahir dari kalangan industri fashion. Menariknya, kalangan yang oleh kaum aktivis cenderung dianggap sebagai kelompok hedonis pecinta kehidupan glamor—model, designer, dan orang-orang di lingkungan fashion—terlibat aktif mengkampanyekan perbaikan kehidupan kaum buruh industri fashion (Sadikin Gani, opcit). Gerakannya tidak lagi terisolasi di kalangan aktivis buruh. Meluas melibatkan para konsumen fashion.
“Kesadaran konsumen adalah kunci,†tulis Bruno Pieters menanggapi langkah penting dalam mewujudkan keadilan di industri fashion. Kesadaran itu pula yang telah mendorong Andrew Morgan membuat sebuah film dokumenter berjudul The True Cost. Film ini berkisah tentang kondisi kehidupan para buruh fast fashion.
Melalui film tersebut Morgan hendak mengajak kita bercermin melalui sebuah rangkain fakta, siapa sebenarnya yang membayar biaya baju murah ala fast fashion yang mungkin tengah Anda kenakan saat ini? Anda, atau para buruh yang diupah murah seperti ribuan buruh yang mati tertimbun reruntuhan Rana Plaza?
Membangun kesadaran seperti itu harus terus dikembangkan, apalagi di Indonesia. Pertama, Indonesia merupakan salah satu negara penyuplai tenaga kerja murah; dan kedua, merupakan negara pemasaran produk-produk fast fashion —Zara, Mango, H&M, Forever 21, Uniqlo, Bershka, GAP, Pull and Bear, Top Shop dan Next—yang sangat potensial.
Bila dikelola dengan baik akan meningkatkan posisi tawar kaum buruh versus fast fashion. Tekanan untuk memperbaiki kondisi kehidupan mereka secara manusiawi tidak hanya datang dari kaum buruh itu sendiri, melainkan dari konsumen pemanfaat hasil kerja mereka.
Originally published at http://theeditpost.com on June 12, 2015.